DEPRESIASI YUAN UNTUNGKAN RI DALAM JANGKA PANJANG

JAKARTA – Pelemahan pasar sa­ham hanya bersifat temporer. Kondisi itu dipicu panic selling se­saat karena para investor khawatir tindakan Bank Sentral Tiongkok (PBoC) mendepresiasi yuan akan menimbulkan ketidakpastian dan mencerminkan ekonomi Tiongkok memburuk. Padahal, pelemahan yuan justru dapat menyehatkan per­ekonomian Tiongkok dalam jangka menengah-panjang karena ekspor negara itu akan meningkat. Jika ekonomi Tiongkok pulih, negara-negara yang selama ini mengekspor produk ke negara itu, termasuk Indonesia, bakal diun­tungkan karena permintaan naik. Penyehatan ekonomi Negeri Tirai Bambu pada akhirnya juga akan mendorong permulihan ekonomi global.

Kecuali itu, tindakan PBoC mendepresiasi yuan terhadap dolar AS dapat mendorong Bank Sentral AS (The Fed) menunda kenaikan suku bunga (Fed funds rate/FFR) akhir tahun ini, sehingga risiko pembalikan modal (sudden rever­sal) dari negara-negara emerging markets keAS dapat dicegah. Di sisi lain, kekhawatiran terha­dap meruncingnya perang suku bu­nga (currency war) antara AS, Tiongkok, Jepang, dan Negara-negara di zona euro tidak perlu disi­kapi terlalu berlebihan karena mata uang negara-negara tersebut pada akhirnya akan mencapai ekuilibri­um baru yang lebih sehat. Investor di pasar modal diminta untuk tidak panik.

Hal itu diungkapkan kalangan analis saham, ekonom, otoritas mo­neter, dan otoritas fiskal yang dihu­bungi secara terpisah di Jakarta,Selasa (11/8), sehubungan tindakan Bank Sentral Tiongkok (People’s Bank of China/PBoC) mendepresi­asi yuan terhadap dolar AS sebesar 1,9% dari 6,2097 yuan per dolar AS menjadi 6,3273 yuan, dengan cara melebarkan rentang currency band-nya. Secara harian, pelemah­an yuan tersebut merupakan yang terendah sejak lebih dari dua deka­de terakhir.

Tindakan PBoC mengejutkan para investor bursa saham regional, sehingga mereka ramai-ramai me­lepas saham. Kecuali bursa Filipina, seluruh bursa saham Asia kemarin melemah. Indeks harga saham ga­bungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) bahkan anjlok pa­

ling dalam sebesar 2,66% ke level 4.623.Pada perdagangan hari ini, Rabu (12/8), IHSG masih menga­lami tekanan jual. IHSG turun da­lam 2,26% ke posisi 4.517,91. Sedangkan rupiah makin melemah, pada perdagangan di pasar spot, Rabu  pukul 10.00 WIB, rupiah turun 1,38% ke level 13.795 per do­lar AS.

Wall Street juga melaju di zona merah. Indeks Dow Jones, S&P, dan Nasdaq ditutup anjlok masing-masing di atas 1%, Rabu dinihari WIB.

PBoC menyatakan keputusan mendepresiasi yuan merupakan sa­lah satu upaya menopang pereko­nomian menyusul perlambatan data-data ekonomi Tiongkok. Eks­por Tiongkok pada Juli lalu anjlok 8,9% secara tahunan (yoy), lebih rendah dari konsensus (minus 0,3%).

Berdampak Positif

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengung­kapkan, pelemahan yuan bisa ber­pengaruh positif bagi Indonesia da­lam jangka menengah dan panjang. “Pelemahan yuan memang dia­rahkan untuk pemulihan ekonomi Tiongkok. Tentu pengaruhnya posi­tif bagi Indonesia untuk jangka me­nengah dan panjang, karena perba­ikan ekonomi Tiongkok akan mem­perbaiki ekspor kita ke Tiongkok,”kata dia.

Menurut Menkeu, pelemahan yuan hanya sedikit menyiratkan persepsi negatif investor dalam jangka pendek. Itu karena mereka mengira ekonomi Negeri Tirai Bambu sedang memburuk. Pe­lemahan yuan kali ini lebih by de­sign untuk pemulihan ekonomi da­lam jangka panjang.

“Investor di pasar saham do­mestik ikut bereaksi negatif sehing­ga pasar ikut melemah. Itu karena ada anggapan ekonomi Tiongkok kurang baik dan terus berdampak ke negara lain, termasuk Indonesia. Tapi, ini hanya sinyal jangka pen­dek,” papar dia.

Menkeu menambahkan, untuk merespons pelemahan yuan, peme­rintah dan BI akan bersama-sama menempuh langkah-langkah antisi­pasi, termasuk mendorong pertum­buhan ekonomi melalui penyerap­an belanja pemerintah yang lebih berkualitas, mengendalikan inflasi demi menjaga daya beli masyara­kat, mendiversifikasi produk dan pasar ekspor, serta menjaring lebih banyak investasi. “Untuk menjagarupiah, BI juga sudah melakukan fungsinya dengan baik melalui in­tervensi di pasar,” tutur dia.

Menurut President Director MarkAsia Strategic Tunggul Gun­tur Pasaribu, respons negatif yang ditunjukkan para pelaku pasar di bursa saham domestik merupakan reaksi jangka pendek. “Mereka kaget karena berang­gapan jangan-jangan kondisi eko­nomi Tiongkok lebih buruk dari yang dipersepsikan selama ini,” ujar dia.

Padahal, kata Guntur, kebijakan PBoC dalam jangka menengah panjang akan berdampak positif terhadap Indonesia karena kebijakan itu bisa memcau ekonomi Tiongkok tumbuh lebih pesat. “Kalau ekonomi Tiongkok pu­lih, ekspor kita ke Tiongkok juga akan meningkat. Belum lagi jika di­kaitkan dengan banyaknya investa­si langsung perusahaan-perusahaan Tiongkok di Indonesia belakangan ini,” ucap dia.

Guntur menjelaskan, mengi­ngat Tiongkok saat ini merupakan salah satu motor ekonomi dunia selain AS, pemulihan ekonomi Negeri Tirai Bambu akan mensti­mulasi pemulihan ekonomi global. “Pemulihan ekonomi Tiongkok juga dapat mendongkrak kenaikan harga komoditas yang selama ini menjadi andalan kita di pasar eks­por,” tandas dia.

Guntur Pasaribu mengakui, pe­nguatan dolarAS terhadap yuan da­pat memicu sudden reversal dari negara-negara emerging markets, apalagi The Fed berencana menaik­kan FFR pada akhir tahun ini. Penguatan dolar AS juga bisa men­ dorong pengalihan (shifting) instru­men investasi dari saham ke instru­men lain seperti dolar AS atau emas. Konidisi ini dapat menekan pasar saham.

Selama FFR hanya naik 25 ba­sis poin (bps) atau maksimum 50 bps, menurut Guntur, pasar finansi­al domestik masih aman. Itu sudah terefleksi di fixed income acuan.

Imbal hasil (yield) surat utang kita masih 7-8%, sedangkan di AS cuma 2%. Country risk kita pun be­lum berubah, Indonesia juga masih menyandang investment grade,” tegas dia.

Namun, Guntur mengingatkan agar BI terus menjaga rupiah agar tidak terlalu volitile. “Rentang rupi­ah yang harus dijaga BI jangan sampai terlalu lebar,” kata dia.

Insentif Dunia Usaha

Analis First Asia Capital David Setyanto mengaku sulit memperki­rakan dampak keputusan PBoC mendepresiasi yuan demi men­dongkrak kinerja ekspornya. “Itu juga merupakan tantangan bagi AS dalam rencananya menaik­kan FFR pada September tahun ini,” ujar dia. David mengakui, jika The Fed menaikkan FFR, dolarAS bakal se­makin kuat. Itu akan berimbas ku­rang baik terhadap kinerja ekspor AS. “Tapi memang September me­rupakan momentum menaikkan FFR di tengah membaiknya data-data ekonomi AS,” tutur dia. Di tengah tekanan dari Ti­ongkok, kata David, pemerintah RI harus segera memberikan kelong­garan kepada pelaku bisnis di Tanah Air. “Masalahnya, pemerin­tah memungut pajak dari masyara­kat dan dunia usaha, tetapi tidak di­belanjakan. Jadi, sebaiknya insentif pajak diperbanyak,” ujar dia.

David Setyanto juga menyaran­kan investor domestik untuk wait and see terlebih dahulu, sampai ge­jolak pasar mereda dan pemerintah melakukan berbagai aksi untuk mendorong perekonomian. Dia menegaskan, fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya ma­sih kuat. Namun, jika tekanan terus terjadi dari eksternal, perekonomi­an nasional bisa terkena imbasnya.

Ekonom dari Universitas Unika Atmajaya Prasetyantoko menge­mukakan, langkah Tiongkok sudah mengarah pada perang mata uang, yang biasanya akan diikuti tindakan balasan dari pihak yang merasa pa­ling dirugikan. “Tentunya ini makin menambah ketidakpastian di pasar uang, selain rencana kenaikan FFR oleh The Fed,” ucap dia. [ID/M]

source : Suara Pembaruan