RI Masih Aman, Tapi Perlu Waspada

Stagnasi pemulihan ekonomi di zona euro dan meruncingnya pertikaian Rusia dengan Ukraina belum berdampak terhadap Indonesia. Namun, jika berlarut-larut, kontraksi ekonomi di zona euro dapat menekan kinerja ekspor nasional. Ancaman itu akan semakin serius bila Rusia memperluas embargo impor serta menaikkan harga minyak dan gas untuk membalas sanksi Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS). Hal itu diungkapkan ekonom Standard Chartered Bank Indonesia Erir Sugandhi, Presiden Direktur Mark Asia Strategic Tunggul Guntur Pasaribu, ekonom PT Bank Internasional Indonesia (BII) Tbk Samuel Ringo Ringo, dan ekonom senior Centre for Strategie and International Studies (CSIS) Pande Radja Silalahi. Mereka dihubungi Investor Daily secara terpisah di Jakarta, Sabtu (16/8). Pemulihan ekonomi blok 18 negara zona euro terhenti pada kuartal II-2014 setelah mesin utama pertumbuhan, Prancis dan Jerman, mengalami stagnasi. Aktivitas ekonomi di Jerman, negara dengan perekonomian terbesar di Eropa, terkontraksi 0,2% pada periode April-Juni 2014. Di pihak lain, Prancis mencatatkan pertumbuhan 0% pada kuartal II tahun ini. Stagnasi di Prancis sudah terjadi dua kuartal berturut-turut.

 

Kabar itu mencuat di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap kemungkinan Rusia memperluas boikot atau embargo impor barang-barang strategis serta menaikkan harga minyak dan gas (migas) sebagai respons terhadap sanksi yang dijatuhkan AS dan UE. Presiden Rusia Vladimir Putin baru-baru ini mengumumkan embargo impor bahan makanan dan minuman dari negara-negara yang menjatuhkan sanksi terhadap Rusia terkait krisis di Ukraina. Embargo impor ini akan memengaruhi semua negara UE dan AS, mengingat Rusia merupakan pasar terbesar kedua bagi produk makanan dan minuman Eropa. Ekspor bahan makanan dari Eropa ke Rusia tahun lalu mencapai 12,2 miliar euro atau sekitar Rp 192 triliun. Rusia juga mengancam akan menaikkan harga migas untuk Eropa. Rusia saat ini tercatat sebagai salah satu produsen migas terbesar di dunia. UE dan AS dalam sebulan terakhir telah menjatuhkan sejumlah sanksi kepada Rusia, menyusul aneksasi Krimea, negara bagian Ukraina, oleh Negeri Beruang Merah itu. Sanksi ekonomi tersebut mencakup sektor perbankan, industri senjata, dan sektor energi. Sanksi berlaku setahun dan akan ditinjau kembali dalam tiga bulan mendatang.

 

Sanksi AS dan UE meliputi pembekuan aset individu dan badan usaha Rusia di Eropa. Akibat sanksi ini, bank-bank pemerintah Rusia tidak bisa mendapatkan kredit dari Eropa. Selain itu, perusahaan migas Rusia akan kehilangan akses teknologi produksi minyak lepas pantai. Sanksi lainnya adalah larangan bagi para investor Eropa untuk menjalankan operasi langsung dan tidak langsung dalam perdagangan saham dan instrumen utang bank-bank besar milik pemerintah Rusia. Kecuali itu, perusahaan Eropa dilarang menjual peralatan dan memberi akses teknologi produksi minyak laut dalam bagi Rusia. Sanksi pun dijatuhkan Bank Dunia. Lembaga keuangan multilateral itu berniat menghentikan pinjaman bagi Rusia. Sanksi-sanksi tersebut belum termasuk larangan penjualan hingga pembelian senjata baru dari Rusia berikut barang-barang sipil yang dapat digunakan untuk keperluan militer.

 

Perlu Dicermati
Menurut ekonom Standard Chartered Bank Indonesia Eric Sugandhi, stagnasi pemulihan ekonomi di zona euro yang dimotori kontraksi Jerman dan Prancis belum berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Dengan terjadinya stagnasi itu, negara-negara Eropa juga tidak akan kembali terjerembab ke jurang krisis seperti pada 2009. “Levelnya berbeda. Sekarang lebih smooth dan fundamental ekonomi negara-negara Eropa kan sudah lebih tahan dibanding dulu. Cuma, memang pemulihannya lama,” ujar dia. Masih melemahnya perekonomian negara-negara Eropa, kata Eric, akan memaksa otoritas mempertahankan stimulus moneternya. Konsekuensi lainnya, Bank Sentral Eropa (ECB) akan mempertahankan suku bunga acuannya yang saat ini dipatok 0,15%. Kondisi ini mengindikasikan dana-dana di emerging market, termasuk Indonesia, tidak akan beralih (switching) ke Eropa. Eric Sugandhi mengakui, meski belum berdampak terhadap Indonesia, stagnasi pemulihan ekonomi zona euro tetap perlu dicermati. Soalnya, stagnasi dalam jangka menengah-panjang dapat memukul kinerja ekspor nasional.

 

Data Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjukkan, saat ini ekspor nonmigas ke negara-negara Eropa berkontribusi sekitar 11% terhadap total ekpor nonmigas nasional. Ekspor RI ke UE didominasi minyak sawit, peralatan listrik, karet, alas kaki, mineral, mebel, pakaian, dan kayu. Selain stagnasi pemulihan ekonomi zona euro, menurut Eric, Indonesia perlu mencermati ketegangan UE dan AS dengan Rusia, menyusul aneksasi Krimea, negara bagian Ukraina. “Justru dampak meningkatnya ketegangan di Ukraina bisa langsung terasa, terutama bila Rusia meningkatkan embargo atau menaikkan harga migas,” ujar dia. Eric menambahkan, embargo impor oleh Rusia dari negara-negara Eropa dan AS bisa memberikan peluang bagi produk ekspor Indonesia ke Rusia. Namun, dalam waktu bersamaan, peluang produk ekspor RI ke negara-negara Eropa lainnya dapat terancam. Soalnya, produk ekspor negara-negara Eropa yang sedianya dipasok ke Rusia, akan dialihkan ke negara lain.

 

Berdasarkan data Kemendag, tahun lalu ekspor nonmigas RI ke Rusia mencapai US$ 930,3 juta, berkontribusi 0,62% terhadap total ekspor nonmigas nasional yang mencapai US$ 149,91 miliar. Yang mengkhawatirkan, kata Eric Sugandhi, adalah jika Rusia menaikkan harga minyak. Kondisi itu akan memicu kenaikan harga minyak di pasar internasional. “Kenaikan harga gas mungkin positif bagi Indonesia selaku produsen gas. Tapi kenaikan harga minyak akan berimplikasi terhadap impor minyak dan BBM kita yang masih besar,” ucap dia. Membengkaknya nilai impor minyak dan BBM, menurut Eric, akan menekan defisit neraca transaksi berjalan (current account), terutama dari sisi neraca perdagangan. Pada kuartal II-2014, defisit transaksi berjalan mencapai US$ 9,1 miliar, dibanding kuartal sebelumnya US$ 4,2 miliar. Tahun ini, pemerintah memperkirakan defisit transaksi berjalan mencapai US$ 24 miliar. “Ini akan membuat rupiah semakin rentan dan mendorong imported inflation yang ujung-ujungnya berdampak pada kebijakan moneter, terutama menyangkut suku bunga,” tandas dia. Pertamina selama ini mengimpor BBM sekitar 600 ribu barel per hari (bph) untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Impor minyak mentah dan BBM pada Januari-Juni 2014 mencapai US$ 13,3 miliar dari total estimasi tahun ini berkisar US$ 28-30 miliar.

 

Pasar Keuangan
Sementara itu, Presiden Direktur Mark Asia Strategic Tunggul Guntur Pasaribu mengungkapkan, stagnasi pemulihan ekonomi zona euro dalam jangka menengah-panjang bisa memengaruhi kinerja ekspor nasional. “Ekspor kita ke Eropa tidak bisa diabaikan,” ujar dia. Bahkan, menurut Guntur, kondisi itu bisa berimbas ke pasar keuangan (financial market). Karena ekspor-impor tertekan, sektor produksi otomatis terganggu, termasuk perusahaan-perusahaan yang melantai di bursa saham. “Secara akumulasi, itu akhirnya merembet ke industri ikutannya, seperti banking, multifinance, dan general insurance,” tutur dia. Dampak lainnya, kata Guntur Pasaribu, rupiah rawan tertekan. Inflasi juga akan meningkat sehingga membebani pertumbuhan ekonomi. “Yang pasti, tekanan terhadap ekspor akan menyebabkan defisit neraca perdagangan semakin lebar,” papar dia.

 

Dia menjelaskan, dibandingkan krisis Ukraina-Rusia, dampak stagnasi pemulihan zona euro terhadap perekonomian Indonesia jauh lebih besar. Sebab, implikasi stagnasi zona euro secara makro lebih luas. Guntur mengatakan, untuk mengantisipasi dampak buruk stagnasi pemulihan ekonomi zona euro, pemerintah perlu menjaga ketenangan dan kenyamanan investor yang sudah berinvestasi di Indonesia, baik asing maupun domestik. Dia menambahkan, pemerintah juga perlu menjaga likuiditas di pasar finansial, termasuk perbankan. “Kecuali itu, BI rate perlu dikawal agar tidak terburu-buru dinaikkan,” tegas dia. Menurut ekonom BII Samuel Ringo Ringo, stagnasi zona euro sejauh ini tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia, khususnya dari sisi ekspor. Begitu pun dampak ketegangan Rusia dengan Barat sehubungan pencaplokan Krimea.

 

Dampak itu, kata Samuel, bakal terasa jika Rusia menaikkan harga minyak. Inilah yang harus dicermati. “Lonjakan harga minyak akan langsung berimbas ke neraca perdagangan. Itu akan bermuara pada pelemahan rupiah, imported inflation, penaikan suku bunga, dan perlambatan ekonomi,” papar dia. Atas dasar itu, Samuel mengingatkan pemerintah untuk tidak ragu menaikkan harga BBM bersubsidi. Selain menekan rupiah dan memengaruhi kebijakan moneter dan fiskal, impor BBM sangat membebani anggaran. Ekonom senior CSIS Pande Radja Silalahi mengakui, stagnasi ekonomi zona euro dalam jangka menengah-panjang bisa menekan kinerja ekspor nasional. “Walau kecil, dampaknya terhadap ekspor kita tetap ada, terutama jika stagnasi itu berlarut-larut, apalagi bila sampai memicu kondisi yang lebih parah,” kata dia.

Source : Investor Daily (18 Agustus 2014)