JAKARTA– Isu bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) berencana mengeluarkan stimulus moneter (quantitative easing/QE) seperti dilakukan Bank Sentral AS dan Bank Sentral Jepang turut memicu sentimen positif di lantai bursa. Hampir seluruh bursa saham regional menghijau pada perdagangan Senin (24/11). Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) melonjak 29,71 poin (0,58%) ke level 5.141.76.
Investor asing membukukan pembelian bersih (net buy) senilai Rp 142 miliar, sehingga net buyasing secara year to date mencapai Rp 49,3 triliun. Bersamaan dengan itu, rupiah di pasar spotantarbank Jakarta menguat 17 poin ke level Rp 12.129 per dolar AS.
Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah menguat ke posisi Rp 12.122 dari sebelumnya Rp 12.161 per dolar AS. Kalangan analis saham dan para pengelola hedge fundmemperkirakan isu QE di Eropa bakal mendominasi sentimen di lantai bursa setidaknya hingga ECB mengumumkan angka inflasi, Jumat (28/11). Isu lain yang diperkirakan memengaruhi pergerakan harga saham ke depan di antaranya earning season (musim laporan keuangan emiten) dan window dressing (aksi para pengelola dana dan emiten untuk menaikkan harga saham demi memperbaiki tampilan portofolio).
Kecuali itu, pasar menunggu ‘kejutan’ lain bank sentral Tiongkok yang Jumat lalu (21/11) memangkas suku bunga acuan untuk pertama kalinya sejak Juni 2012. Meski sebagian analis memprediksi ECB kecil kemungkinan mengeluarkan stimulus moneter seperti QE di AS karena akan dianggap melanggar aturan dan bertentangan dengan garis politik di masing-masing negara zona eruo, sebagian analis lainnya yakin ECB akan menempuh kebijakan tersebut. Keyakinan itu muncul karena pertumbuhan ekonomi di Eropa tetap melambat dengan inflasi yang kelewat rendah.
Keyakinan itu semakin kuat setelah Gubernur ECB Mario Draghi pada pertemuan para bankir, akhir pekan lalu, mengisyaratkan ECB akan menempuh langkah-langkah terobosan demi mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih kondusif. “Kami bakal menggunakan segala cara yang ada dan segenap mandat yang kami miliki untuk mengembalikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi ke jalur normal,” ujar Mario Draghi.
Para pelaku pasar menginterpretasikan langkah – langkah yang dipertimbangkan ECB adalah pembelian kembali obligasi pemerintah secara besar – besaran seperti dilakukan Bank Sentral As (The Federal Reserve/The Fed) dan Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ). Langkah tersebut dianggap penting untuk melawan deflasi. Saat ini, inflasi di zona euro hanya mencapai 0,4%, jauh dibawah target sebesar 2% sebagai prasyarat pemulihan ekonomi berkesinambungan di kawasan tersebut.
QE diterapkan The Fed sejak 2008 dan berakhir pada Oktober 2014 dengan total nilai sekitar US$ 3 triliun. Stimulus senilasi US$ 15 miliar yang disuntikan The Fed bulan lalu merupakan stimulus terakhir, menyusul mulai pulihnya perekonomian negara itu.
QE merupakan program The Fed membeli obligasi pemerintah dari perbankan dengan tujuan utama menurunkan tingkat suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pembelian kembali obligasi oleh The Fed akan menambah cadangan dana perbankan. Jika cadangan dananya meningkat, perbankan bakal menurunkan suku bunga.
QE juga menyebabkan peredaran dolar AS meningkat di pasar. Karena tingkat suku bunga rendah, pelaku bisnis bisa meminjam dana dalam jumlah besar ke perbankan. Di sisi lain, nilai dolar AS akan semakin rendah, sehingga dunia usaha diuntungkan karena harga produk ekspornya lebih bersaing.
Kebijakan hampir sama diterapkan BoJ. Bahkan BoJ lebih dulu (mulai 2001) menerapkan kebijakan itu melalui pemangkasan suku bunga sampai 0%, meski bank sentral tersebut baru melakukan pembelian obligasi dan saham dari perbankan secara masih dalam beberapa tahun terakhir yang dimotori Perdana Menteri Shinzo Abe. Kebijakan Abe ini kemudian diistilahkan sebagai Abenomisc.
ECB pun sebetulnya telah menerapkan kebijakan yang hampir sama dengan QE di AS dan Jepang. Bedanya, ECB hanya membeli obligasi sektor swasta, khususnya perbankan, dengan tujuan menyelamatkan mereka dari risiko gagal bayar (default).
Mantan Presiden Fed Ben Bernanke pernah mengatakan, ECB akan kesulitan mengimplemantasikan QE karena negara – negara di zona euro menganut kebijakan politik yang berbeda – beda. “ECB akan mengalami hambatan dari sisi politik untuk bisa menjalankan program tersebut,” tutur Bernanke. Kebijakan QE dalam arti sempit juga diterapkan Bank Sentral Tiongkok (People’s Bank of China/PBoC). Pada Jumat (21/11) lalu, PBoC menurunkan suku bunga acuan untuk pertama kalinya sejak Juni 2012. Suku bunga simpanan satu tahun diturunkan 25 bps menjadi 2,75%, sedangkan suku bunga kredit satu tahun dipangkas 40 basis poin menjadi 5,6%. Kebijakan mengejutkan ini ditempuh PBoC karena perekonomiannya terus melambat. Produk domestic bruto (PDB) negara itu tumbuh 7,3% pada periode Juli – September 2014, turun dibandingkan 7,5% pada triwulan sebelumnya dan merupakan yang terendah sejak 2009 atau masa puncak finansial global. Sejak April 2014, PBoC menggulirkan serangkaian kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, termasuk pemangkasan selektif giro wajib minimum (GWM) perbankan dan suntikan dana segar ke lima bank terbesar dengan harapan dana – dana murah itu dialirkan lagi ke sektor rill.
Sudden Reversal
Menanggapi hal itu, President Director markAsia Strategic Tunggul Guntur Pasaribu mengungkapkan, ECB bisa saja memberlakukan QE, meskipun sulit. “Kalau pun QE diterapkan, pelaksanaannya akan sulit karena krisis yang dialami masing – masing negara berbeda – beda. Ada yang ekonominya masih bagus, ada yang resesi, ada yang setengah resesi, ada yang sudah krisis,” ujar Guntur kepada Investor Daily di Jakarta, kemarin.
Menurut Guntur, isu QE akan menjadi pembahasan menarik karena kebijakan tersebut memicu pro dan kontra. “Tapi intinya, QE di Eropa bisa berdampak positif terhadap Indonesia. Paling tidak, QE akan membuat ekonomi Eropa bertumbuh, sehingga ekspor kita ke Uni Eropa bisa meningkat,” tutur dia.
Selain itu, kata Guntur, QE akan membuat likuiditas perbankan dan para kreditor di Eropa membaik, sehingga korporasi Indonesia yang berutang kepada mereka dapat memperoleh kemudahan restrukturisasi. Apalagi QE dalam prosesnya akan menyebabkan mata uang euro melemah.
Meski demikian, QE bisa berdampak negatif, di antaranya dapat memicu pembalikan modal asing (sudden reversal) dari emerging market ke Eropa, terutama saat ekonomi kawasan itu membaik dan menjanjikan return lebih besar. “Tapi guncangan seperti itu kemungkinan tidak terlalu besar dan baru terjadi dalam jangka panjang. Itu juga biasanya lebih disebabkan oleh garis kebijakan para fund manager dalam mengatur portfolionya atau karena perubahan persepsi investor saja, “papar dia.
Secara umum, kata Guntur, tak ada yang perlu dikhawatirkan dari kemungkinan ECB memberlakukan QE. Soalnya, secara fundamental, perekonomian nasional ke depan lebih baik. “Makro kita lebih sehat, terutama setelah pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Yang terpenting, pemerintah konsisten melakukan reformasi struktural,” ucap dia.
Sementara itu, pengamat ekonomi Destry Damayanti kepada Investor Daily mengemukakan, jika akhirnya ECB menerapkan QE, Indonesia bakal mendapat banyak manfaat. “Yang penting kita bisa menjaga stabilitas makro. Kalau itu bisa dijaga, QE di Eropa akan memberikan banyak sisi positif bagi Indonesia,” kata dia.
Destry menjelaskan, QE di Eropa sebagaimana QE di AS akan membuat likuiditas di negara – negara Eropa melonjak. “Tidak semua likuiditas itu bisa diserap. Pasti akan ‘bocor’ juga dan mengalir ke emerging market, termasuk ke Indonesia. Dana – dana tersebut diinvestasikan di portfolio, terutama saham dan obligasi, “ujar dia.
Masuknya dana – dana asing ke Indonesia, menurut Destry Damayanti, bakal menyebabkan pasokan dolar AS lebih terjaga, sehingga rupiah akan menguat dan stabil. Cadangan devisa pun akan meningkat. “Masuknya dana – dana asing sudah terlihat sekarang. Dana asing di surat utang negara (SUN) dalam sepekan terakhir meningkat,” papar dia.
Dia menambahkan, agar tidak terjadi sudden reversal atau capital flight, stabilitas makro harus dijaga. “saya kira, sudden reversal tidak akan terjadi dalam jangka pendek, sepanjang kita bisa menjaga stabilitas makro,” tandas Destry Damayanti.
Kepala Riset Woori Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada mengakui, isu QE ECB mendapat respons positif dari pasar. “Mario Draghi memiliki komitmen yang kuat untuk mengelola inflasi. Dia juga ingin menurunkan suku bunga acuan yang akan mendorong market,” tutur Reza.
Dia menambahkan, sentiment positif juga terjadi di pasar obligasi. Padahal, penaikan harga BBM bersubsidi yang akan mendorong kenaikan inflasi dan BI rate merupakan sentiment negatif bagi pasar obligasi. “Tapi sentimennya justru positif. Itu sentiment positif tambahan setelah pada pecan sebelumnya pasar merespons positif pidato Presiden Jokowi di APEC,” papar dia.
Reza memperkirakan IHSG masih berada di zona hijau. Meki demikian, indeks bisa saja berbalik ke sisi negative. Selama sepekan ke depan, indeks akan melaju di kisaran level support 5.025 – 5.085 dan resistance 5.135 – 5.055.
IPO SAHAM
Di pihak lain, BEI optimistis hingga akhir tahun ini mampu mencapai target jumlah perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham sebanyak 30 perusahaan. Sudah ada beberapa perusahaan yang bakal melangsungkan IPO hingga akhir tahun ini. “Terdapat beberapa perusahaan lagi yang bakal IPO tahun ini, tapi saya tidak hafal jumlahnya,” kata Direktur Utama BEI Ito Warsito kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (24/11).
Berdasarkan catatan Investor Daily, terdapat beberapa perusahaan yang akan mencatatkan sahamnya akhir tahun ini, diantaranya PT Soechi Lines, PT Intan Baruprana Finance, PT Impack Pratama Industri, PT Archi Indonesia, dan PT Golden Plantation.
Salah satu perusahaan yang bakal mencatatkan sahamnya pada Desember tahun ini adalah PT Bank Agris. Perseroan telah melangsungkan IPO saham kemarin. Bank Agris bakal melepas 900 juta saham baru atau setara 21,25% total modal ditempatkan dan disetor perseroan.
Bank Agris menunjuk Indo Premiere Securities sebagai penjamin emisi (underwriter). Bank Agris menawarkan harga per saham Rp 105 hingga Rp 115. Dengan penawaran harga tersebut, Bank Agris berpotensi meraih dana segar Rp 94,5 miliar sampe 103,5 miliar. “Sekitar 30% dana IPO akan digunakan untuk pengembangan jaringan dan 70% untuk ekspansi kredit,” ucap Direktur Utama Bank Agris Sia Leng Ho.
Dia menjelaskan, tahun depan perseroan berencana membangun 10 kantor cabang baru, terdiri atas dua kantor cabang di Makasar, Sulawesi Selatan dan Samarinda, Kalimantan Timur serta delapan cabang fungsional di beberapa daerah lain.
Selain ekspansi jaringan, kata dia, perseroan akan menggunakan dana hasil IPO untuk menyalurkan kredit mikro kecil menengah kepada para peternak ayam serta penambak udang dan ikan. Selama ini, perseroan focus menyalurkan kredit ke tiga segmen tersebut.
Rencananya, penawaran awal saham Bank Agri berlangsung pada 24 November – 1 Desember. Perseroan memperoleh tanggal efektif 10 Desember, dan melaksanakan penawaran umum pada 12, 15, dan 16 Desember serta pencatatan di BEI pada 22 Desember. Melalui ekspansi tersebut, perseroan menargetkan laba bersih tahun depan sebesar Rp 30 miliar, meningkat 100% dari target tahun ini Rp 15 miliar.
Associate Director Indo Premiere Securities Eban S Banowo mengatakan, pihaknya optimis investor bakal menyerap seluruh saham yang diterbitkan Bank Agris. Alasannya, masih banyak investor yang menyukai saham – saham perbankan. “Selain itu sektor konsentrasi Bank Agris juga menarik, yaitu lebih ke UMKM dan agribisnis. Apalagi kinerja bisnis perseroan selama ini cukup bagus,” tutur dia.
Direktur Utama BEI Ito Warsito mengungkapkan, BEI menargetkan 35 perusahaan melangsungkan IPO pada 2015. Meskipun tahun depan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan melambat, ito tetap optimistis target tersebut dapat dicapai. “Target 35 perusahaan itu realistis, karena ada 10 perusahaan yang mengundurkan rencana IPO menjadi tahun depan,” ucap dia.
Dia menambahkan, beberapa perusahaan tersebut mengundurkan jadwal IPO-nya karena berlangsung pemilu tahun ini. (afp/rw)