MASA DEPAN YUNANI MASIH ‘GELAP’ RI Takkan Seperti Yunani

JAKARTA-lndonesia tak akan terjerumus ke dalam krisis utang dan bangkrut seperti Yunani. Selain rasio terhadap produk domestik bruto (PDB)-nya relatif rendah, utang Indonesia jauh lebih manageable. Selain itu, Indonesia memiliki APBN yang lebih prudent, angka pengangguran dan kemiskinan yang lebih rendah, PDB yang jauh lebih besar, serta pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat ketimbang Yunani. Kebangkrutan Negeri Dewa Dewi itu juga tak akan berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia.

Meski demikian, Indonesia perlu tetap mencermati krisis Yunani karena banyak hedge fund, fund manager, bank, dan investment banking global yang berinvestasi di surat utang dan memberikan pinjaman kepada korporasi Yunani. Setelah Yunani bangkrut, mereka akan mengompensasi kerugian dengan mengalihkan investasi ke safe haven seperti dolar AS. Hal itu bisa meniagkatkan risiko pembalikan modal (sudden reversal) dana-dana dari emerging markets, termasuk Indonesia. Apalagi Bank Sentral AS (The Fed) berencana menaikkan suku bunga.

Rasio utang Indonesia masih terbilang rendah, baru 25% terhadap PDB, dibanding Yunani yang sudah 175%. Utang Indonesia, baik utang pemerintah, bank sentral, maupun korporasi yang mencapai US$ 298 miliar juga tercatat dengan baik, terdistribusi secara merata, tidak didominasi utang konglomerasi, sebagian sudah di-hedge, dan digunakan untuk sektor produksi atau memperkuat APBN. Sebaliknya, utang Yunani yang mencapai 356 miliar euro lebih banyak didominasi surat utang yang sebagian digunakan untuk membiayai para pensiunan (konsumsi).

Kecuali itu, defisit APBN Indonesia sangat rendah, tak sampai 2,5% terhadap PDB, dibanding Yunani sebesar 8%. Angka pengangguran Indonesia juga jauh lebih rendah dari Yunani, sebesar 5,94% berbanding 26,49%. Adapun PDB Indonesia mencapai US$ 889 miliar ketimbang Yunani yang hanya US$ 238 miliar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun jauh lebih pesat, mencapai 5,02% pada 2014 dibanding Yunani yang cuma 0,77%. Bahkan enam tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Yunani berturut-turut negatif. Sementara itu, masa depan Yunani masih ‘gelap’ setelah mayoritas rakyatnya menolak persyaratan pengucuran dana talangan dari para kreditor internasionalnya dengan hasil referendum 61,3% menolak dan hanya 38,7% mendukung.

Setelah hasil referendum keluar, Menteri Keuangan (Menkeu) Yanis Varoufakis mengundurkan diri. Keputusan itu disebut-sebut merupakan cara untuk memuluskan jalan Perdana Menteri (PM) Alexis Tsipras dalam perundingan baru dengan para kreditor. Namun, Jerman selaku juru bayar Eropa menepis anggapan Yunani segera mendapatkan kesepakatan. Yunani dinyatakan tetap harus mencapai kesepakatan dengan para kreditornya agar mendapatkan dana talangan dan bisa membayar utang-utangnya. Pada 20 Juli 2015, Yunani harus membayar utang 3,5 miliar euro kepada Bank Sentral Eropa (ECB). Jika Yunani kembali gagal bayar sebagaimana gagal bayar 1,5 miliar euro pada 30 Juni 2015 kepada Dana Moneter Internasional (IMF), ECB bisa memutus aliran dana darurat-nya. Hasil referendum tidak serta-merta memastikan Yunani keluar dari zona euro. Yunani memiliki waktu tiga sampai empat pekan untuk mencapai kesepakatan atau bakal terpaksa mencetak uang sendiri.

 

Jauh Lebih Baik

Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Sri Adiningsih, kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik dari Yunani. Selain itu, lembaga kementerian/lembaga (K/L) yang mengelola sistem keuangan di dalam negeri sudah lebih baik. Instrumen dan mekanisme antisipasinya pun sudah lebih baik,” ujar Sri Sri Adiningsih usai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Presiden, Jakarta, Senin (6/7). Sri Adiningsih mengungkapkan, meski ekonomi RI aman, pemerintah masih perlu melakukan antisipasi dan penyempurnaan-penyempurnaan. “Kami punya kewajiban menyampaikan kepada presiden tentang perkembangan ekonomi terkini dan masukan apa yang bisa digunakan presiden untuk memperbaiki kinerja ekonomi kita ke depan. Kami melihat banyak yang perlu disempurnakan.” papar dia.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) tidak mengkhawatirkan dampak krisis Yunani terhadap perekonomian domestik karena hal itu sudah diantisipasi oleh banyak pihak. “Kami melihat kondisi di Yunani bukan hal yang baru. Kami harapkan pengaruhnya tidak terlalu besar terhadap Indonesia” kata Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs.

Peter menjelaskan, Indonesia tak banyak menjalin relasi perdagangan dan investasi dengan Yunani. Dengan demikian, kondisi di Negeri Dewa Dewi itu tidak akan banyak memengaruhi perekonomian di Tanah Air.

Meski demikian, BI masih terus mencermati bagaimana para investor melihat krisis tersebut dalam konteks volatilitas dolar AS. “Seberapa besar pengaruh investor menjual aset untuk membeli dolar AS, sehingga dolar semakin kuat, itu yang nantinya sedikit berdampak. Jadi, sangat situasional sifatnya,” tandas dia.

Bank sentral, kata Peter, tidak akan ragu turun ke pasar jika terjadi volatilitas di luar kewajaran. BI juga dan melakukan intervensi secara terukur. “Kami akan terus mengawasi pergerakan yang di luar jalur fundamentalnya,” tandas dia.

President Director MarkAsia Strategic yang juga mantan direktur Bursa Efek Indonesia (BEI) Tunggul Guntur Pasaribu mengemukakan, secara umum kebangkrutan Yunani tak mempengaruhi perekonomian Indonesia.

Apalagi ekspor-impor dan investasi RI-Yunani tidak besar. Meski demikian, Indonesia perlu tetap mecermati krisis Yunani. “Soalnya, banyak hedge fund, fund manager, bank, dan investment banking global yang berinvestasi di surat utang dan memberikan pinjaman kepada korporasi Yunani,” tutur dia.

Setelah Yunani bangkrut, menurut Guntur, para investor global akan mengompensasi kerugiannya dengan mengalihkan investasi ke safe haven seperti dolar AS. “Bila itu teijadi, risiko sudden reversal dari emerging markets, termasuk Indonesia, akan meningkat, mengingat The Fed juga berencana menaikkan suku bunga. Itulah yang bikin pasar waspada,” ucap dia.

Meningkatnya risiko sudden reversal, kata Guntur, dapat memicu pelemahan rupiah. “Rupiah yang volatile bisa menimbulkan kerugian di kalangan hedge fund atau fund manager, sehingga mereka akan mengonversi portofolionya ke dolar AS. Bila itu terjadi, rupiah semakin terpukul,” ujar dia.

Guntur menambahkan, meski imbal hasil (yield) surat utang negara (SUN) di Indonesia masih kompetitif, rata-rata 7,5-8% dibanding di AS yang hanya 2-3%, para investor tetap mempertimbangkan faktor keamanan dan stabilitas. Maka yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengupayakan rupiah stabil dan meyakinkan para investor bahwa Indonesia merupakan tempat investasi yang aman dan bebas gejolak.

“Kuncinya pemerintah jangan lamban mengambil keputusan. Kalau mau reshuffle, ya harus segera. Begitu pula kalau mau mengeluarkan regulasi. Kalau lambat, nanti dipolitisasi. Investor asing menganggap politisasi sebagai bagian dari risiko investasi,” papar Guntur.

 

Pasar Saham

Analis Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengungkapkan, dampak bangkrutnya Yunani yang paling dikhawatirkan adalah jika negara itu keluar dari zona euro dan berhasil survive dengan mencetak mata uang sendiri. “Itu akan mendorong negara-negara Eropa lainnya untuk melakukan hal yang sama. Ini akan berujung pada bubarnya zona euro yang bisa berbahaya bagi perekonomian global,” ucap dia.

Pasar saham global kemarin terimbas isu Yunani. Alhasil, indeks harga saham gabungan (IHSG) terpangkas 66,16 poin (1,32%) ke level 4.916,74. Bersamaan dengan itu, rupiah berdasarkan kurs tengah BI melemah dari Rp 13.316 ke posisi Rp 13.353 per dolar AS.

Menurut Hans Kwee, setelah mayoritas rakyat Yunani menolak dana talangan (bailout), kecil kemungkinann Yunani bisa diselamatkan. “Dampak Yunani terhadap global mungkin dalam jangka pendek, sekitar seminggu, pasar akan mengalami goncangan. Namun bagi Indonesia, tidak terlalu berdampak langsung,” tutur dia.

Tapi, kata dia, Indonesia tetap perlu mewaspadai efek domino dari Yunani ke negara-negara yang volume perdagangannya besar, seperti Eropa, AS, dan Tiongkok.

Menurut analis First Capital David Sutyanto, masalah Yunani tidak akan berdampak langsung terhadap Indonesia. “Untuk jangka pendek. keluarnya Yunani dari zona Euro mungkin buruk bagi Eropa. Namun jangka panjang justru akan bagus, karena masalah Eropa sejak 2008 memang ada di Yunani,” tutur dia. David menjelaskan, yang perlu diwaspadai adalah pelemahan euro yang berlebihan, sehingga akan membuat dolar AS menguat dan ujung-ujungnya’ menekan rupiah.

 

Yunani Terkini

Dari Yunani dilaporkan, masa depan negara itu masih sangat gelap. Padahal, pada 20 Juli 2015, Yunani harus membayar utang 3,5 miliar euro kepada ECB. Jika Yunani gagal bayar lagi sebagaimana gagal bayar 1,5 miliar euro pada 30 Juni 2015 kepada IMF, sebagian ekonom memperkirakan ECB bisa memutus aliran dana daruratnya kepada Yunani.

Selama lima bulan lebih perundingan antara Yunani dan para kreditornya tidak mencapai hasil, ECB-lah yang menopang kehidupan perbankan Yunani dan mencegah negara dari kehancuran. Terakhir, ECB menjaga level bantuan likuiditas darurat untuk Yunani sebesar 89 miliar euro. Kesabaran ECB dalam menolong Yunani tidak tanpa batas dan bisa habis bulan ini. “Jika Yunani tidak bisa memenuhi batas waktu pembayaran dan gagal bayar, sangat sulit bagi ECB meneruskan bantuan,” ujar ekonom ING DiBa Carsten Brzeski. Senin (6/7).

Sejalan dengan itu, Menkeu Yanis Varoufakis mengundurkan diri setelah hasil referendum keluar, yang disebut-sebut guna memuluskan jalan PM Alexis Tsipras dalam perundingan baru dengan para kreditor. Namun, Jerman selaku juru bayar Eropa menepis anggapan Yunani akan cepat mendapatkan kesepakatan.

Kelompok menkeu zona euro atau Eurogroup memperkirakan proposal baru itu akan diserahkan oleh pemerintah Yunani pada pertemuan Selasa (7/7).

Pemerintah Yunani disebut-sebut bakal kehabisan dana kas untuk pembiayaan rutin. Alhasil, keputusan dari Yunani sendiri yang akan menentukan nasibnya di zona euro.

Jika Yunani sampai harus mencetak uang, mata uang baru itu kemungkinan akan berlaku pada nilai awal sangat rendah terhadap euro. Kalangan analis sudah mengatakan, daya beli rakyat Yunani pada awal-awal akan anjlok 30-40% jika euro diganti mata uang baru.

Setelah diberlakukan, nilainya bisa turun lagi karena pada saat yang sama harga-harga dan inflasi naik. Jika Yunani beruntung, mata uang baru itu akan mencapai titik keseimbangan dalam beberapa bulan, kemungkinan karena didukung oleh simpanan, kepemilikan euro di luar negeri, dan belanja pariwisata.

Ada kemungkinan pula perekonomian Yunani terjun bebas. Pada titik ini, Yunani bakal membutuhkan program dana talangan internasional baru, karena kondisi perekonomiannya bakal jauh lebih buruk. (afp/bloomberg/berbagai sumber/ian)

source : Investor Daily (7 July 2015)