Asing Masih Bertahan

JAKARTA – Investor asing dipastikan masih bertahan di Indonesia. Kendati bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), menaikkan suku bunga hingga 100 bps tahun depan, imbal hasil (yield) portofolio di Indonesia tetap lebih atraktif, sehingga kenaikan Fed funds rate tidak akan memicu gelombang pembalikan arus modal asing (sudden reversal).

Imbal hasil surat utang negara (SUN) dan obligasi korporasi Indonesia bertenor lima tahun saat ini berkisar 7-8%, jauh lebih baik dibanding di Eropa dan AS yang hanya 2-2,5%.

Begitu pula dibanding negara-negara lain di Asia, seperti Korea dan Thailand sebesar 2,5-3,5%. Di sisi lain, dengan pertumbuhan laba bersih emiten tahun ini sebesar 10-15% dan price to earning ratio (PER) 14 kali, valuasi saham di bursa domestik tergolong murah.

Masih bertahannya investor asing tercermin pada arus modal masuk (capital inflow). Secara year to date, asing membukukan pembelian bersih (net buy) di pasar saham senilai Rp 47,54 triliun. Tren kepemilikan asing pada surat berharga negara (SBN) juga naik. Per 31 Oktober 2014, kepemilikan asing mencapai Rp 459,86 triliun dibanding bulan sebelumnya Rp 447,37 triliun dan akhir Desember 2013 senilai Rp 323,83 triliun.

Meski demikian, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus memberikan perhatian lebih terhadap nilai tukar rupiah. Jika mata uang NKRI itu tergerus sampai 10% secara year to date, investor asing diperkirakan hengkang dari Indonesia.

Hal itu diungkapkan Presiden Direktur Mark Asia Strategic Tunggul Guntur Pasaribu, Associate Director Head of Research and Institutional Business PT Trimegah Securities Tbk Sebastian Tobing, ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa, ekonom Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya A Prasetyantoko, dan analis teknikal Trimegah Securities Gina Nasution. Mereka dihubungiInvestor Daily secara terpisah di Jakarta, Senin (15/12).

Sementara itu, Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, ada dua faktor penyebab pelemahan nilai tukar rupiah. Selain rencana The Fed menaikkan suku bunga yang secara psikologis memengaruhi persepsi investor global, tingginya kebutuhan dolar AS untuk membayar utang luar negeri jatuh tempo menjadi faktor penyebab pelemahan rupiah.

Lebih Menarik

Presiden Direktur MarkAsia Strategic Guntur Pasaribu mengakui, rupiah belakangan ini terdepresiasi di tengah kuatnya capital inflow. “ Itu terjadi karena asing melihat rupiah melemah tapi sudah mencapai bottom, sehingga mereka mengambil opportunity dengan mengoleksi portfolio yang selected dan blue chips, termasuk sorvereign bond (obligasi internasional berdenominasi valas),” papar dia.

Dia menambahkan, pelemahan rupiah untuk sementara ini didominasi penguatan dolar AS karena ekonomi AS membaik, pelemahan rupiah untuk sementara ini didominasi penguatan dolar AS karena ekonomi AS membaik, pelemahan harga minyak, serta keberhasilan AS mengembangkan minyak dan gas serpih (shale oil and gas) sebagai substitusi minyak dan gas bumi. “Faktor – faktor ini akan gugur dengan sendirinya jika ke depan fundamental ekonomi kita bisa lebih stabil,” tutur dia.

Fundamental ekonomi nasional, menurut Guntur, akan membaik jika pemerintah berhasil menyeimbangkan kembali neraca perdagangan yang saat ini defisit, menyehatkan APBN dengan mengurangi lebih desar alokasi subsidi, serta menggenjot pembangunan infrastruktur untuk menekan biaya logistic dan ekonomi biaya tinggi.

Guntur Pasaribu menjelaskan, saat ini imbal hasil SUN dan obligasi korporasi masih tinggi, mencapai 7-8% untuk tenor lima tahun. “Itu jauh lebih baik dari negara-negara lain di Asia, kecuali Filipina. Apalagi dibanding imbal hasil di Eropa dan AS yang hanya 2-2,5%. Imbal hasil di Korea dan Thailand juga hanya 2,5-3,5%,” ujar dia.

Associate Director Head of Research and Institutional Business Trimegah Securities Sebastian Tobing mengungkapkan, imbal hasil portfolio di Indonesia lebih menarik ketimbang dua negara emerging market lainnya, Tiongkok dan India. Imbal hasil di Indonesia didukung potensi pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6-7%.

“Indonesia bisa tumbuh semakin baik pada 2016 dan seterusnya jika rencana – rencana proyek infrastruktur dikerjakan secara benar. Jadi, pemerintah harus memastikan implementasi megaproyek itu. Secara umum, Indonesia sudah on the track,” tandas dia.

Menurut Sebastian, investor asing masih menganggap Indonesia sebagai pasar yang atraktif, baik untuk portfolio seperti saham, obligasi, dan reksadana, maupun untuk investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).

“Itu karena besarnya potensi pasar di Tanah Air. India kalah dari Indonesia karena lambannya pembangunan di sana, terutama dalam mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Tiongkok juga sudah memiliki ruang yang agak sempit untuk berkembang. Ekonomi Tiongkok hanya bisa bertumbuh maksimal 7%,” papar dia.

Dia mengakui, investor asing sangat dominan dalam kepemilikan portfolio domestik, baik di saham, obligasi, SBN dan SUN, maupun reksadana. “Intinya, jika asing menarik dananya dari Indonesia, kita pasti terpuruk. Namun, dengan keunggulan – keunggulan yang dimiliki ekonomi kita, hal itu hampir tidak mungkin terjadi,” ucap dia.

Sebastian juga optimis tidak akan terjadi sudden reversal kendati The Fed menaikkan suku bunga pada 2015 dan 2016. “Yang akan terjadi hanyalah potensi capital outflow yang temporer, dengan catatan pemerintah mampu menjaga rupiah pada level yang sehat,” tegas dia.

Dia menambahkan, bearish di pasar saham saat ini juga bersifat temporer. Pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), kemarin, indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup melemah 52 poin (1,01%) ke level 5.108,432. Dalam waktu bersamaan, hampir seluruh bursa saham regional melemah.

IHSG turun menyusul anjloknya rupiah. Di pasar spot antarbank Jakarta, rupiah terpuruk ke level Rp 12.705 per dolar AS dibandingkan hari sebelumnya Rp 12.410. Sedangkan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah melemah dari Rp 12.432 ke posisi 12.599 per dolar AS.

Dengan melemahnya IHSG, menurut Sebastian Tobing, investor asing menganggap pasar saham domestic masih menarik, kendati rupiah terpuruk. “Asing masih bisa menoleransi bila rupiah hanya turun kurang dari 4%. Mereka akan kabur jika rupiah jebol sampai 10%, ujar dia.

Dia mengungkapkan, jika rupiah dan neraca transaksi berjalan (current account) tetap terjaga, APBN masih relatif sehat. Pemerintah juga perlu menjaga subsidi yang benar – benar berkualitas.

“Ini bakal mengurangi risiko ekonomi ke depan. Sejauh ini kan belum ada titik terlalu terang mengenai stimulus dari bank sentral Eropa (ECB). Jadi, isu stimulus moneter (quantitative easing/QE) dari ECB terlalu berpengaruh,” tutur dia.

Trimegah Securities merevisi proyeksi kenaikan IHSG sebesar 10% tahun depan pada level 5.634 dari sebelumnya 5.854. Saat ini, PER bursa domestik tercatat masih di level forward 14 kali, di bawah rata – rata PE historical dari 2011 sebesar 15 kali.

Masih Berlanjut

Analisis Teknikal Trimegah Securities Gina Nasution mengatakan, faktor yang memengaruhi pasar tahun depan di antaranya kenaikan suku bunga The Fed menjadi 1,125% dari 0,25% dan pelemahan harga minyak dunia yang masih berlanjut. “Untuk setiap penurunan US$ 1 per barel akan ada saving budget pemerintah sebesar Rp 1,8 triliun dengan asumsi harga minyak US$ 105 per barel,” kata dia.

Dia menjelaskan, beberapa saham top pick tahun depan di antaranya saham PT Bank Nasional Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Jatim Tbk (BJTM), PT Tower Bersama Tbk (TBIG), PT Indocement Tbk (INTP), PT Mitra Adi Perkasa Tbk (INTP), PT Mitra Adi Perkasa (MAPI), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Waskita Tbk (WSKT), PT Sumarrecon Tbk (SMRA), dan PT Soechi Lines Tbk (SOCI).

“Kinerja saham – saham ini telah terbukti outperform IHSG sebesar 14% sejak Desember 2013. Kenaikan harga saham ke depan masih didominasi perusahaan kontruksi dan infrastruktur sejalan dengan komitmen Presiden Jokowi untuk terus menggaet investor di sektor tersebut,” papar dia.

Gina menilai kondisi politik dan makro ekonomi tahun depan mereda. Inflasi diperkirakan berada pada level 5%, rupiah menguat ke posisi Rp 12.150 dengan risiko jangka panjang Rp 13.000 per dolar AS seiring penguatan dolar AS terhadap seluruh mata uang. Adapun BI rate diperkirakan naik 25 bps ke level 8% seiring kenaikan suku bunga The Fed.

Ekonom Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya A Prasetyantoko menilai, sejumlah portfolio di Tanah Air masih memiliki daya tarik bagi investor asing, baik saat ini maupun tahun depan.

Di pasar modal, kata dia, setidaknya ada empat sektor saham yang akan menjadi buruan para investor, yakni property, infrastruktur, consumer goods, dan manufaktur. “Sektor – sektor tersebut menjadi cermin ekspektasi para investor asing terhadap kondisi ekonomi Indonesia ke depan. Daya tarik portfolio domestic bagi investor asing di antaranya datang dari imbal hasil yang masih menarik,” ujar dia.

Prasetyantoko mengemukakan, pelemahan rupiah belakangan ini dipicu faktor global dan domestik. Faktor global adalah penguatan nilai tukar dolar AS terhadap hampir semua mata uang negara lain. Sedangkan faktor domestic yaitu defisit transaksi berjalan yang tetap lebar.

Dia menegaskan, untuk mengatasi persoalan itu, mau tidak mau pemerintah haru menyelesaikan masalah fundamental ekonomi yang menjadi pemicu defisit transaksi berjalan. Sedangkan unutk menolong rupiah agar tidak terperosok semakin dalam, BI dalam jangka pendek perlu melakukan intervensi.

Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri sebelumnya mengatakan, beberapa minggu lalu, imbal hasil saham di Indonesia mencapai 20%, jauh lebih tinggi dibandingkan di AS yang hanya 7%. Sedangkan SUN menawarkan bunga 6,5% dibandingkan bunga obligasi pemerintah AS yang hanya 2,5%. Itu sebabnya, pasar modal Indonesia masih didominasi pemodal asing dengan penguasaan hingga sekitar 60%.

Di pihak lain, Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Raden Pardede mengatakan, dolar AS mengalami apresiasi terhadap hampir  seluruh mata uang dunia karena pemulihan ekonomi AS sangat kuat, ditambah data – data penyiapan lapangan kerja yang sangat kokoh.

Kecuali itu, inflasi di AS cukup rendah karena harga minyak dunia yang turun mengakibatkan biaya yang dikeluarkan ekonomi AS juga turun. “Jadi, dengan tidak adanya dampak inflasi, perekonomian mereka sangat kuat. Itu yang mengakibatkan dolar menguat ke seluruh mata uang dunia. Jadi, bukan hanya rupiah yang melemah,” tandas dia.

Namun, Raden menegaskan, tidak ada yang dapat dilakukan pemerintah terkait hal tersebut. Pasalnya, Indonesia tidak bisa melawan arah dunia. Dengan demikian, tidak perlu ada intervensi oleh pemerintah dan BI. “Kalau mau intervensi, itu hanya supaya tidak ada volatilitas yang tinggi. Hal yang penting saat ini, perlu dijaga agar tidak terjadi kepanikan yang menyebabkan volatilitas lebih tinggi,” tegas dia.

Sekalipun rupiah saat ini mendekati posisi Rp 13.000 per dolar AS, menurut Raden Pardede, Indonesia sebaiknya melihat arah pergerakan di seluruh dunia.

Asing Masih Betah

Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa optimistis investor asing belum menarik dananya dan masih bertahan (stay) di pasar keuangan Tanah Air walaupun IHSG cenderung melemah dan rupiah terpuruk akhir – akhir ini. “Apalagi, melihat data yang ada, total nilai dan porsi investasi asing di berbagai portfolio keuangan masih sangat besar,” kata dia.

Purbaya menjelaskan, investor asing masih dalam posisi wait and see terhadap arah perkembangan ekonomi Indonesia untuk menentukan arah investasinya. Perilaku mereka saat ini lebih dipengaruhi dan melihat kondisi riil fundamental perekonomian nasional ketimbang faktor eksternal.

“Asing memang masih stay. Tapi, mereka juga sedang wait and see, sekaligus sedang ragu – ragu dan was – was dengan masa depan perekonomian Indonesia, apakah akan berjalan sebaik yang dijanjikan pemerintah baru, ataukah justru melambat. Mereka mulai melihat kenyataan dan kondisi fundamental riil perekonomian,” ujar dia.

Menurut dia, jika awalnya pernyataan dan gebrakan pemerintah baru Jokowi memberikan angin segar dan memacu gairah pasar keuangan Tanah Air, investor asing saat ini kembali melihat apa yang bisa dilakukan pemerintah. Mereka mulai ragu, apakah pemerintah bisa mencapai pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 5,2 – 5,3% dan inflasi bisa dijaga di bawah 5%. Dalam APBN 2015, asumsi inflasi ditetapkan 4,4%.

Walaupun begitu, Purbaya tetap yakin target inflasi tahun depanbisa dicapai karena pengaruh penaikan harga BBM bersubsidi pada November lalu hanya akan terasa maksimal hingga November 2015.

Dia menambahkan, kini ada sedikit keraguan di kalangan investor asing, apakah pemerintah bisa memacu pertumbuhan ekonomi setelah memangkas subsidi BBM. “Persoalannya, dari mana dana untuk membangun infrastruktur seperti dijanjikan karena harga minyak dunia saat ini turun ke level sekitar US$ 60 per barel,” tutur dia.

Menurut Purbaya, penurunan harga minyak dunia akan menurunkan pendapatan migas nasional yang pada akhirnya mengurangi potensi belanja pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Begitu pula penurunan harga minyak akan mengurangi potensi alokasi pengalihan sunsidi BBM yang semula diperkirakan mencapai Rp 100 triliun dengan harga minyak dunia masih US$ 100 per barel. Itu karena Indonesia masih mengekspor minyak mentah.

“Dengan kata lain, harga minyak yang turun menjadi sekitar US$ 60 per barel akan menurunkan potensi pengalihan dana subsidi untuk infrastruktur yang semula diprediksi mencapai Rp 100 triliun,” ucap dia.

Dia menjelaskan, penaikan harga BBM bersubsidi secara historis akan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional dalam beberapa bulan setelahnya, paling tidak 6 – 8 bulan. Karena itu, wajar jika asing pun kini menjadi wait and see,” kata dia.

Menurut Purbaya, imbal hasil di Indonesia saat ini menyusut seiring pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Dia mencontohkan, keuntungan dari investasi pada surat utang saat ini dalam kurs rupiah masih mencapai 9 – 11%. Tapi, persentase tersebut menjadi kurang berarti ketika dikonversi ke dolar AS karena mereka merupakan investor asing.

Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, pelemahan rupiah akhir – akhir ini terjadi akibat membaiknya perekonomian AS. Tren perbaikan ekonomi negara adidaya itu mendorong mata uang AS ‘pulang kampung.’ “Gejala pelemahan rupiah ini bukan gejala spesifik di Indonesia. Orang mengatakan mega tren, dolar pulang kampung karena ekonomi AS ternyata bagus sekali,” kata Sofyan.

Dia mengungkapkan, investor cenderung beralih mengoleksi mata uang dolar AS karena peluang mendapat gain sangat terbuka. “Itu yang mendorong dolar mulai kembali ke AS,” kata dia.

Dia menegaskan, selama periode Desember 2013 – Desember 2014, rupiah hanya terdepresiasi 2,5%. Padahal, yen Jepang terdepresiasi 2,5%. Padahal, yen Jepang terdepresiasi 15%, bath Thailand sekitar 6%, dan ringgit Malaysia 5 – 6%. (nov/Im/ns/c01)